“Jangan memandang kecilnya suatu kemaksiatan, tapi lihatlah kepada kebesaran zat yang engkau lakukan kemaksiatan terhadap-Nya.”

Oleh: M.M. Nilam Widyarini, MSi, Dosen Psikologi

Sudah menjadi fenomena umum wanita mengambil peran kerja dan mencari nafkah di luar rumah. Namun, penyesuaian diri pria maupun wanita terhadap pergeseran pola peran ini tampaknya belum tuntas. Banyak persoalan rumah tangga dipicu oleh kesulitan dalam penyesuaian diri ini.

Seorang suami, sebutlah namanya Didin (43 tahun), mengalami depresi karena telah lima tahun memiliki penghasilan lebih kecil daripada istrinya. Lima tahun lalu ía manajer sebuah perusahaan ternama yang mengalami PHK akibat rasionalisasi. Saat ini, ia menjalankan modal seorang teman untuk usaha, meski belum untung. Istrinya pegawai negeri sipil di sebuah departemen. Mereka telah menikah selama 16 tahun dan dikaruniai dua orang anak. Dengan penghasilan lebih kecil dari istri, Pak Didin merasa tidak berharga. Ia mengaku mengalami rasa iri dan dengki yang makin lama makin menggunung. Sebagai suami ia merasa kalah pamor dan prestasi kerja dibanding istrinya, gaji lebih kecil, karier tidak jelas, masa depan tidak jelas (khawatir ada kemungkinan usahanya berhenti di tengah jalan jika teman sudah kehabisan modal), sudah tidak punya tabungan dan Jamsostek (terpakai untuk hidup), tak punya uang pensiun, berangkat kerja cukup dengan kaus (tidak dengan seragam seperti istri).

Setiap pagi ketika istrinya menyiapkan seragam kantor sambil bernyanyi-nyanyi riang, hatinya terasa teriris-iris, merasa terhina. Nyanyian itu terasa mencabik-cabik harga dirinya. Ia merasa sebagai manusia rendah bila istrinya menceriterakan kegiatannya di kantor maupun aktivitasnya sebagai pengurus komite sekolah. Ia merasa malu dengan gelar kesarjanaannya. Padahal, ia dulu selalu berprestasi di sekolah dengan menempati posisi tiga besar sejak SD sampai SMA. Ia juga selalu diterima di sekolah-sekolah favorit; sewaktu SMA pernah menjadi pelajar teladan tingkat provinsi; masuk perguruan tinggi negeri terkenal melalui jalur PMDK. Semua itu terasa tidak ada harganya, sampai-sampai ia ingin membakar habis ijazah dan piagam penghargaan yang pernah diterima.

Akibat lebih jauh: Ia merasa minder dan tidak bergairah lagi dalam urusan seks. Baginya istrinya bukan wanita yang lemah lembut lagi, melainkan seolah wanita karier yang bertangan besi. Ia merasa posisinya sangat lemah, sehingga berpikir bahwa sewaktu-waktu istrinya bisa saja meninggalkan dia. Karena depresi dan lelah pikiran, ia sempat beberapa kali tidak pulang dan tidur di tempat kerja dengan alasan banyak pekerjaan.

Mengakhiri ceritanya yang sangat runtut, menunjukkan kecerdasannya, Pak Didin bertanya: Bagaimana caranya agar tidak selalu merasa tertekan dengan kesuksesan dan kemampuan istri, serta pikiran-pikiran negatif lainnya? Ia juga bertanya, “Apa yang salah dengan diri saya sebenarnya? Bagaimana saya harus memandang dan menyikapi kenyataan hidup seperti ini?”

Analisis

Pak Didin mungkin tidak sendirian menghadapi persoalan semacam ini. Hal ini mengingat bahwa banyak konflik suami-istri terjadi karena persoalan serupa, bahkan telah mengakibatkan perceraian.

Untunglah Pak, Didin cukup bijaksana dengan menyadari bahwa berbagai pikiran dan perasaan negatif dalam dirinya itu bukanlah kenyataan, melainkan pikiran subjektifnya sendiri yang sulit dikendalikan. Dengan demikian, akan lebih mudah baginya untuk menjadi lebih objektif dan membawa pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan itu ke arah positif.

Dalam persoalan ini tampak terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya kelelahan mental dan depresi yang dialami Pak Didin: post power syndrome, keyakinan akan peran gender tradisional, dan masalah komunikasi.

Post power syndrome

Ini merupakan respon negatif akibat kehilangan status/kekuasaan. Hal ini terjadi bila seseorang terlalu mendasarkan harga dirinya pada status atau kekuasaan. Respon ini dapat muncul dalam tiga bentuk gejala: (1) Gejala fisik, misalnya tampak menjadi jauh lebih cepat tua, pemurung, lemah tubuhnya, tidak bergairah, dan sebagainya; (2). Gejala emosi, misalnya cepat tersinggung, merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, dan sebagainya; (3) Gejala perilaku, misalnya menjadi mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan, baik di rumah atau di tempat yang lain.

Pada Pak Didin, gejala post power syndrome tampak dalam bentuk gejala fisik (tidak bergairah, kehilangan dorongan seks), emosi (perasaan negatif terhadap istri, iri dan dengki, merasa tidak berharga), maupun perilaku (menarik diri dari lingkungan rumah, ingin membakar ijazah, dan sebagainya).

Apakah ia mendasarkan harga dirinya pada status kekuasaan? Tampaknya ya. Hal ini terbentuk karena hampir sepanjang hidupnya ia menikmati status sebagai individu yang berprestasi tinggi, hingga menjadi manajer sebuah perusahaan ternama. Harga dirinya terbentuk terutama karena status unggul yang dimilikinya.

Sebagai akibat langsung dari kehilangan status unggul tersebut (pengalaman PHK, pekerjaan baru yang tidak menjanjikan status, penghasilan lebih kecil daripada istri) ia mengalami pukulan luar biasa.

Tanpa ia sadari, ia melakukan generalisasi, seolah-olah kegagalan dalam pekerjaan itu merupakan kegagalan dirinya secara menyeluruh. Dari sinilah berkembang pikiran dan perasaan negatif (yang sifatnya subjektif) terhadap diri sendiri maupun orang lain (khususnya istri). Akibatnya, ia menjadi sangat kehilangan harga diri.

Budaya patriarki dan peran gender tradisional

Meskipun persamaan martabat pria dan wanita umumnya sudah diakui, masih banyak anggota masyarakat (termasuk di negara maju) yang berpegang pada budaya patriarki: pria harus memiliki status lebih unggul daripada wanita.

Hal ini berkaitan dengan keyakinan peran gender tradisional yang menyatakan bahwa suami harus berperan sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengurus rumah tangga. Dalam pembagian peran gender tradisional ini secara implisit diyakini, status pencari nafkah lebih unggul daripada pengurus rumah tangga.

Secara konseptual diakui bahwa martabat pria dan wanita adalah sama, dan dalam praksis juga telah diberikan peluang (hak) yang sama antara pria dan wanita dalam dunia kerja.

Namun, bila pada individu masih terdapat keyakinan akan penbedaan status pria dan wanita, berarti telah terjadi disonansi kognitif (ketidakselarasan dalam berpikir). Akibatnya, timbul persoalan dalam kognisi dan dalam relasi pribadi. Dalam hal ini setidaknya Pak Didin memiliki keyakinan bahwa sebagai suami ia harus lebih unggul daripada istrinya, khususnya sebagai pencari nafkah yang sukses. Padahal, dalam situasi sekarang, ketika istri juga bekerja, kesempatan sukses juga ada pada istri.

Pola hubungan yang sesuai adalah berdasarkan kesetaraan dan rasa kebersamaan yang utuh. Dengan pola ini keberhasilan suami akan dirasa sebagai keberhasilan istri juga, dan keberhasilan istri dirasa sebagai keberhasilan suami pula.

Demikian pula dengan kegagalan. Pola hubungan suami-istri seperti ini sebenannya justru membawa hubungan tersebut pada martabat yang lebih tinggi: terdapat komitmen yang utuh (dalam suka maupun duka) dan terdapat kerendahan hati.

Masalah komunikasi

Hal lain yang ikut mendukung berkembangnya depresi Pak Didin adalah komunikasi. Sejauh ini hubungan dengan istri dan anak tampak baik-baik saja, tetapi ternyata Pak Didin menyimpan perasaan negatif yang amat dalam terhadap diri sendiri maupun terhadap istri tanpa sepengetahuan sang istri.

Perasan negatif dan depresi ini mungkin tidak berkembang seperti sekarang bila sejak awal Pak Didin mengungkapkan segala keresahannya kepada istrinya. Bila demikian mungkin sudah sejak lama ia paham bahwa istrinya tetap menghargai dirinya, dan mungkin menjadi lebih menunjukkan pengertiannya akan perasaan-perasaan yang dialami suaminya, dan ikut membesarkan hati suaminya.

Sejauh ini istri Pak Didien tampaknya tidak mengalami kekecewaan apapun terhadap suaminya. Bahwa ia tetap ceria dan senang menceritakan pekerjaannya, hal ini merupakan petunjuk positif bahwa ia tetap menghargai suaminya. Ia tidak mengubah penghargaan terhadap suami hanya gara-gara penghasilannya lebih tinggi, memiliki berbagai atribut dan dana pensiun. Mungkin ia memang menghayati bahwa keberhasilan dirinya adalah keberhasilan suaminya juga.

Solusi

Setelah memahami situasi yang membelit dirinya, Pak Didin dapat menentukan beberapa langkah untuk mengatasi depresi, pikiran dan perasaan negatifnya.

1. Berpikir positif terhadap diri sendiri maupun terhadap istri, dan tidak menggeneralisasi kegagalan. Bila tujuan yang diharapkan belum tercapai, tidak berarti secara keseluruhan ia adalah pribadi yang gagal. Terbukti ada teman yang memberikan kepercayaan berupa modal usaha; istrinya tampak tetap nyaman dan bahagia bersamanya; dan suasana keluarga terjaga harmonis. Semua ini pantas disyukuri.

2. Perlu fleksibel menyesuaikan diri dengan peran yang diperlukan, sehubungan dengan perubahan dalam rumah tangga. Pandangan bahwa suami harus lebih unggul dalam mencari nafkah telah berpotensi menimbulkan konflik dan dapat menggagalkan perkawinan. Akan lebih bahagia dengan meyakini dan menerapkan pola hubungan kesetaraan dan kebersamaan yang utuh.

3. Perbaiki komunikasi dengan istri, mengingat komunikasi merupakan sarana menuju keterbukaan antarpribadi pasangan. Tanpa keterbukaan, persoalan demi persoalan menumpuk, dan cepat atau lambat akan meledak, memicu keretakan hubungan. Sebaliknya, dengan komunikasi yang baik, kebersamaan akan tetap terpelihara, dan bukan tidak mungkin akan semakin mendorong semangat untuk bekerja, hingga keberhasilan usaha lebih dapat segera terwujud. ***

Tinggalkan komentar